Tetanggaku adalah seorang tukang kebun sebuah sekolah dasar alias penjaga sebuah sekolah dasar. Setiap pagi ia berangkat melaksanakan tugasnya dan pulang di siang hari ketika sekolah sudah sepi. Sore hari, biasanya beliau kembali ke sekolah untuk menyalakan lampu agar sekolah tidak terkesan gelap. Anaknya kebetulan juga sekolah di tempat itu. Sempat terlintas dalam pikiranku, bagaimana ya perasaan anaknya kalau tahu bahwa ayahnya hanyalah penjaga SD tersebut.
“Biasa saja tuh”, jawab istriku menjawab pertanyaanku.
“Ya kalau di desa mungkin biasa sih, soalnya yang lain kebanyakan ayahnya juga menjadi petani atau pedagang,” sahutku, “tapi bagaimana kalau di kota?”
“Wah kalau itu gak tahu, bisa saja malah jadi beban mental sebab ayahnya hanya menjadi tukang sekolah.”
Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari profesi seorang ayah dapat mempengaruhi mental seorang anak. Anak biasanya akan membanggakan profesi ayahnya. Mereka tidak begitu peduli jadi apa ayahnya asalkan ada sesuatu yang bisa mereka banggakan itu sudah cukup.
Ambil contoh seorang anak tetap bangga memiliki ayah seorang petani karena ia tahu ayahnya seorang pekerja keras.
Hanya saja pergaulan dengan teman-temannya yang mengukur prestasi seorang ayah dari sisi uang sering mempengaruhi pola pikir anak tersebut. Anak-anak akan bangga jika orang tuanya sanggup membelikan apa saja yang ia mau. Sebaliknya mereka akan dikucilkan bila orang tuanya hanya seorang miskin.
Akibatnya beberapa anak yang tidak kuat mentalnya bisa minder bahkan mulai menyalahkan orang tuanya kenapa ayahnya hanya berprofesi seperti ini.
Kondisi seperti ini dapat dihindari dengan pemahaman sejak dini bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dengan uang melainkan dengan keharmonisan keluarga. Anak juga perlu tahu apa yang bisa mereka banggakan dari keluarganya dan tidak hanya menuntut saja. Mereka harus dibiasakan untuk hidup cukup dengan uang yang mereka miliki.
Sudah memang mengajari anak supaya tidak terbawa arus negatif pergaulan teman-temannya. Tetapi dengan niat dan kegigihan semuanya pasti bisa dilakukan.
Oh ya, masyarakat di sini kebanyakan bisa menerima apapun profesi tetangganya, apakah pegawai kantoran atau seorang petani biasa. Mereka tidak mempermasalahkan selama yang bersangkutan mencari nafkah dengan cara yang halal dan tidak menganggu ketertiban bermasyarakat.
Terlepas dari itu semua, saya salut dengan tetangga saya ini. Selain menjadi pak bon, ia juga nyambi sebagai nelayan di malam hari. Jika malam tiba, ia pergi ke waduk dan mencari ikan di sana, ikan yang di dapat itulah yang kemudian dijual dan uangnya untuk kebutuhan keluarganya. Semangat yang perlu kita teladani.
Catatan
Tulisan ini pertama kali dimunculkan di sini, dan dimunculkan kembali dengan beberapa penambahan